Research

My interest research field:

1. software development process and IT Governance
2. e-government
3. computer’s social and ethical issue




STUDI TINGKAT PENERAPAN IT GOVERNANCE OLEH INSTITUSI DI BATAM

Peran penting Teknologi Informasi (TI) dalam organisasi dari tahun ke tahun terus meningkat. Hasil survei IT Governance Institute dan PriceWaterhouseCoopers pada tahun 2008 (ITGI, 2008) menunjukkan bahwa 93 persen dari 749 responden yang berasal dari berbagai sektor usaha dan 5 benua memberi nilai penting dan sangat penting bagi TI sebagai pendorong tercapainya strategi organisasi. Sektor yang merasakan kontribusi penting teknologi informasi berturut-turut dari yang terbesar adalah sektor keuangan, TI dan telekomunikasi, retail, sektor publik, dan terakhir sektor manufaktur. Namun di sisi lain ketergantungan organisasi pada TI ini sekaligus juga memberi resiko kepada organisasi. Bila TI tidak dikelola dan dikontrol dengan baik maka dapat memberi dampak buruk bagi organisasi itu sendiri maupun kepada stakeholder (pelanggan, penanam modal, pensuplai, masyarakat dan pemerintah).

Penerapan Sarbanes-Oxley (SOX) Act pada tanggal 30 Juli 2002 sebagai standar akutansi bagi perusahaan yang terdaftar di bursa saham Amerika, ternyata juga memberi pengaruh langsung pada fungsi TI dalam organisasi di seluruh dunia. Hasil penelitian Kaarst-Brown dan Kelly (2005) menunjukkan bahwa pengaruh SOX terhadap fungsi TI dan CIO meliputi 6 area yaitu: CIO Accountability, IT Governance, Budgets and IT Value-Added, System and Processes, IT Staff, and External Relations. Dampak pada IT Governance didorong oleh pasal-pasal dalam SOX yang mengindikasikan semakin terlibatnya TI dalam mendukung keputusan berinvestasi, tekanan pada anggaran TI dan nilai tambah TI, dan tuntutan terhadap transparansi dan akuntabilitas dari anggaran TI. Dalam lingkup manajeman proyek, Leih (2005) mendapatkan bahwa penerapan SOX membuat manajemen proyek TI menjadi lebih formal, waktu penyelesaian proyek TI menjadi lebih lama, dan organisasi terdorong untuk mengotomasi proses SDLC (software development life cycle).

Kedua isu di atas tersebut menjadi pendorong (driver) pentingnya penerapan IT Governance dalam organisasi. IT Governance yang berpusat pada “decision rights and accountability” (Weill dan Ross, 2004) dan “IT delivers value to business and IT risks are mitigated” (ITGI, 2007) bertujuan agar TI termanfaatkan sesuai dengan yang diharapkan terutama bahwa TI sejalan dengan strategi bisnis. IT Governance telah diterapkan oleh banyak organisasi di dunia dan menjadi bahan penelitian akademisi: penerapan IT Governance di sektor swasta (O’Donohue et.al, 2006), sektor publik (Ali dan Green, 2006) dan pendidikan tinggi (Bhattacharjya dan Chang, 2006) di Australia, penerapan IT Governance di sektor administrasi publik di Brazil (Reinhard et.al, 2006), penerapan IT Governance di perusahaan milik negara di Malaysia (Jaafar dan Jordan, 2009), penerapan IT Governance di perusahaan multi nasional yang beroperasi di Asia (Sia et.al, 2008), perbandingan penerapan IT Governance pada perusahaan keuangan dan pada perusahaan manufaktur di Swedia (Mirbaha, 2008), dan penerapan IT Governance pada usaha kecil dan menengah di Amerika (Huang et.al, 2006).

Tuntutan untuk menerapkan IT Governance tentunya juga berlaku bagi institusi di Indonesia umumnya dan kota Batam khususnya dimana UIB berada. Batam sebagai kota industri dan perdagangan yang pada tahun 2008 telah dideklarasikan sebagai Pulau Digital (Digital Island) yang menekankan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi secara intensif dalam segala bidang kehidupan tentunya juga mengisyaratkan penerapan IT Governance pada institusi yang ada di Batam. Dengan mengacu pada kebutuhan ini maka dirasakan penting untuk melakukan penelitian yang akan mempelajari tingkat penerapan IT Governance oleh institusi di pulau Batam ini.




STUDI PEMAHAMAN ETIKA BERKOMPUTER DI KALANGAN MAHASISWA DI BATAM

Teknologi informasi dan komputer (TIK) sudah terbukti memberi banyak keuntungan bagi kehidupan manusia. TIK membuat suatu transaksi bisa menjadi lebih cepat dan mudah: mengirim berita melalui email bisa dilakukan dalam hitungan detik dan bisa langsung ditujukan kepada banyak orang, dibandingkan dengan mengirim berita lewat surat atau kawat. TIK membuat batas jarak dan waktu menjadi tidak ada: melalui fasilitas messenger interaksi dengan orang lain yang berada di kota, pulau dan benua yang berbeda bisa dilakukan secara online di setiap waktu. TIK melalui internet membuat informasi bisa didapat dengan mudah, jual beli bisa dilakukan 24 jam secara online, bekerja bisa dilakukan di luar kantor, dan lain-lain.

Di sisi lain teknologi informasi dan komputer juga membuka peluang bagi penggunaan yang berdampak negatif bagi kehidupan manusia. Media internet digunakan sebagai media untuk menyebarkan informasi bohong, file dan software tanpa ijin, dan informasi bersifat kekerasan dan pornografi. TIK digunakan sebagai alat melakukan kejahatan sehingga menjadi sulit dilacak: pencurian dana secara sedikit demi sedikit dari akun orang dengan menggunakan teknik salami, pencurian identitas kartu kredit dari transaksi yang dilakukan secara online, dan penyebaran virus dengan tujuan merusak data dan sistem yang ada.

Penggunaan TIK untuk hal yang negatif merupakan pelanggaran terhadap etika berkomputer (IT Ethics). Etika berkomputer menjelaskan mana yang baik dan patut dilakukan, dan mana yang buruk yang harus dihindari oleh individu sewaktu menggunakan dan memanfaatkan TIK. Motif pelanggaran etika berkomputer bisa karena ketidaktahuan individu tentang etika berkomputer, dan bisa juga karena memang disengaja untuk melanggar demi suatu kepentingan.

Salah satu cara memperkecil jumlah pelanggaran karena unsur ketidaktahuan adalah dengan mensosialisasikan etika berkomputer. Di masyarakat umum dilakukan dengan menerbitkan artikel yang berhubungan dengan etika berkomputer di media massa umum maupun khusus. Sementara di lingkungan perguruan tinggi isu etika berkomputer merupakan hal yang sangat penting untuk diajarkan, karena lulusan perguruan tinggi ini akan menjadi pemakai TIK yang intensif, apalagi bagi lulusan program studi TI yang akan terlibat langsung dalam pembuatan dan pengelolaan sistem TIK. Subyek etika berkomputer sebagai bahan pengajaran di ilmu komputer diperkenalkan dalam Computing Curricula 1991 oleh ACM dan IEEE Computer Society. Beberapa cara pengajaran etika berkomputer yang komprehensif dan menarik minat mahasiswa diajukan oleh Barnard et.al.(2003) dan Howard et.al. (2009).

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Kota Batam yang telah mencanangkan diri sebagai “Digital Island” sudah memiliki 20 perguruan tinggi dan 6 perguruan tinggi di antaranya memiliki jurusan yang berhubungan langsung dengan TIK. Materi etika berkomputer pada perguruan tinggi tersebut umumnya dimasukkan ke dalam mata kuliah pengantar teknologi informasi dan komputer baik untuk jurusan TI maupun jurusan non TI yang menawarkan mata kuliah tersebut. Melalui penyampaian ini diharapkan mahasiswa memiliki pengetahuan tentang etika berkomputer yang bisa dijadikan acuan mereka dalam bertindak dan mengambil keputusan sewaktu menggunakan dan memanfaatkan TIK baik sewaktu kuliah maupun nanti saat sudah bekerja.

Pengajaran materi etika berkomputer pada semua perguruan tinggi di Batam idealnya memberikan pemahaman yang sama tentang etika berkomputer kepada setiap mahasiswa yang mengikuti pengajaran tersebut. Untuk menguji pernyataan di atas maka penelitian yang diusulkan ini akan menjawab pertanyaan penelitian berikut: “Apakah terdapat pemahaman yang sama terhadap etika berkomputer di kalangan mahasiswa di Batam ?”.