Wacana PLN (Perusahaan Listrik Negara) untuk menaikkan tarif listrik selalu saja mendapat reaksi negatif dari para pelanggan listrik. Pelanggan industri menolak usul kenaikan tarif listrik yang diajukan PLN dengan alasan bahwa PLN masih bisa meningkatkan efisiensi pengelolaan listrik sebesar 25% untuk menutup tagihan pelanggan yang akan dinaikkan ini. (1)(2) Wakil rakyat menolak kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dengan argumen bahwa tarif yang dipatok PLN pada saat itu sudah merupakan tarif listrik kedua termahal di Asia Tenggara dan rencana kenaikan 83 hingga 90% untuk golongan perumahan dan 100% untuk industri disinyalir dapat membuat rakyat makin sengsara, dunia industri runtuh, pengangguran bertambah, dan usaha masyarakat akan lesu.(3) Wakil rakyat akan menyetujui kenaikan tarif listrik asalkan tidak membebani rakyat. (4)
Permasalahan
Permasalahan utama yang dihadapi oleh PLN sehingga sering mengajukan wacana untuk menaikkan tarif listrik adalah kurangnya dana yang tersedia untuk melakukan peremajaan fasilitas yang ada dan untuk melakukan ekspansi baik untuk tujuan penambahan kapasitas produksi listrik maupun tujuan penambahan jaringan distribusi listrik. Sebagai industri utilitas, peremajaan fasilitas wajib dilakukan PLN karena mesin ataupun sarana pembangkit tenaga listrik pasti memiliki umur produktif, dan bila sudah melewati umur produktif itu maka tingkat efisiensi menjadi jauh berkurang. Dengan tetap mengoperasikan pembangkit yang sudah usang, walaupun mungkin biaya yang dikeluarkan tetap namun secara ekonomi sebenarnya biaya lebih besar karena output yang dihasilkan mesin pembangkit berkurang jauh dari kapasitas normalnya. Sementara ekspansi merupakan salah satu amanat yang harus dijalankan oleh PLN selaku Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan seperti yang tercantum dalam UU No. 15 Tahun 1985 yaitu PLN wajib menyediakan tenaga listrik dan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Hutang PLN dalam hal penyediaan listrik kepada masyarakat belum terbayar karena masih terdapat 5.140 desa yang belum tersentuh oleh listrik, dan tidak semua dari 92.65 persen desa/kelurahan se-Indonesia yang sudah menikmati fasilitas listrik merupakan listrik yang berasal dari PLN.
Tabel 1. Jumlah Kelurahan/Desa dengan Fasilitas Listrik Tahun 2005 (5)
Pulau Kelurahan/Desa dengan listrik Kelurahan/Desa tanpa listrik
% %
Jawa 24.965 99.72 71 0.28
Sumatera 20.044 94.26 1.220 5.74
Bali Nusra 3.837 90.09 422 9.91
Kalimantan 5.749 92.97 435 7.03
Sulawesi 7.801 94.91 418 5.09
Maluku Papua 2.419 48.45 2.574 51.55
Indonesia 64.815 92.65 5.140 7.35
Mengapa bisa terjadi kekurangan dana? Bukankah pelanggan PLN membayar setiap unit listrik yang dipakainya? Kekurangan dana untuk peremajaan dan ekspansi terjadi karena pendapatan yang didapat PLN dari konsumen tidak lebih besar dari biaya pokok penyediaan (BPP) listrik yang harus dikeluarkan oleh PLN. Mengacu pada UU No. 15 Tahun 1985 pasal 16 dinyatakan bahwa pemerintah mengatur harga jual tenaga listrik. Keputusan ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden seperti Kepres No. 104 Tahun 2003 yang mengatur harga jual tenaga listrik tahun 2004. Dengan mempertimbangkan untuk meringankan beban kehidupan rakyat dan sekaligus di pihak lain tetap memperhatikan kelangsungan pengusahaan penyediaan tenaga listrik dan peningkatan mutu pelayanan oleh PLN maka pemerintah menetapkan tarif dasar listrik yang relatif rendah dan sebagai kompensasinya pemerintah menganggarkan subsidi listrik yang dibayarkan kepada PLN.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 111 Tahun 2007, subsidi listrik diberikan terhadap selisih kurang antara harga jual tenaga listrik rata-rata (Rp/kWh) dari masing-masing Golongan Tarif dikurangi Biaya Pokok Penyediaan (BPP) (Rp/kWh) pada tegangan di masing-masing Golongan Tarif ditambah marjin (% tertentu dari BPP) dikalikan volume penjualan (kWh) untuk setiap Golongan Tarif. BPP listrik merupakan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membangkitkan, mentransmisikan, dan mendistribusikan listrik yang meliputi biaya bahan bakar, biaya membeli tenaga listrik, biaya menyewa pembangkit tenaga listrik, biaya pemeliharaan, biaya kepegawaian, biaya administrasi, penyusutan aset operasional, dan beban bunga. Dengan demikian pendapatan yang diterima oleh PLN adalah benar-benar hanya untuk menutup biaya operasional pengadaan dan pendistribusian listrik dari pembangkit listrik yang sudah ada.
Tabel 2 menunjukkan bahwa secara rata-rata di seluruh Indonesia nilai BPP selalu lebih besar daripada harga jual listrik, dan menunjukkan bahwa seluruh daerah mendapat subsidi listrik. Nilai BPP ini menjadi tinggi di beberapa wilayah seperti Maluku. Di Maluku pembangkit listrik didominasi oleh pembangkit listrik tenaga diesel sehingga kemungkinan komponen biaya menjadi sangat besar untuk membeli bahan bakar solar yang pada tahun 2008 harga solar bersubsidi berkisar antara Rp. 5500 sampai Rp. 4500 pada bulan Desember 2008. Sementara di Jawa pembangkit listrik di dominasi oleh pembangkit listrik tenaga air dan pembangkit listrik tenaga uap yang biaya operasionalnya relatif rendah sehingga BPP-nya pun menjadi relatif rendah. Dalam konteks ini PLN perlu mencatat kemungkinan penjadualan menggantikan pembangkit listrik berbiaya tinggi dengan pembangkit listrik yang berbiaya rendah yang juga memanfaatkan energi terbarukan. Bila biaya pembangkitan sudah rendah tentunya total BPP akan menjadi rendah dan akhirnya tarif pun bisa menjadi lebih rendah.
Bila ditelusuri lebih dalam data pada tabel 2, wilayah dengan konsumsi listrik besar secara otomatis juga mendapat porsi subsidi yang besar, dan 5 besar wilayah tersebut merupakan propinsi yang maju dan kebanyakan penduduknya relatif mapan secara ekonomi. Gambaran sederhana ini menunjukkan bahwa subsidi listrik yang membuat tarif listrik menjadi cukup murah malah mendorong penduduk mampu untuk lebih konsumtif dalam menikmati listrik.
Tabel 2. BPP, Harga Jual dan Subsidi per Wilayah Tahun 2008 (6)
Wilayah BPP Harga Jual Penjualan (GWh) % Penjualan % Total Subsidi
Bali 1,183.54 765.63 2,563 2.01 1.35
Jawa Timur 1,115.93 652.48 20,292 15.92 11.84
Jawa Tengah 1,162.02 614.59 14,253 11.19 9.59
Jawa Barat 1,055.93 612.58 33,873 26.58 18.80
DKI Jaya & Tangerang 1,090.26 719.59 29,448 23.11 13.79
NAD 2,791.67 603.03 1,159 0.91 3.23
Sumatera Utara 2,223.77 630.29 5,789 4.54 11.74
Sumatera Barat 998.54 594.58 1,933 1.52 0.99
Riau 1,666.68 668.09 2,041 1.60 2.59
Sumsel, Jambi, Bengkulu 990.42 667.65 3,319 2.60 1.41
Bangka Belitung 3,213.29 651.18 368 0.29 1.20
Lampung 956.45 663.13 1,906 1.50 0.74
Kalimantan Barat 3,272.41 627.89 1,078 0.85 3.63
Kalimantan Selatan & Tengah 1,866.62 648.93 1,625 1.28 2.52
Kalimantan Timur 2,597.37 685.59 1,557 1.22 3.79
Sulut, Tengah & Gorontalo 2,093.82 646.45 1,282 1.01 2.36
Sulawesi Selatan & Tenggara 1,462.47 631.41 2,966 2.33 3.15
Maluku 3,955.11 668.57 407 0.32 1.70
Papua 3,565.46 709.10 602 0.47 2.19
Nusa Tenggara Barat 3,211.23 642.06 627 0.49 2.05
Nusa Tenggara Timur 3,796.46 687.91 339 0.27 1.34
Mengacu pada Tarif Dasar Listrik pada tabel 3 dan digabung dengan BPP pada tabel 2 maka terlihat bahwa sekarang ini subsidi harus diberikan kepada semua golongan tarif yang ada termasuk juga disini golongan bisnis dan industri. Argumen yang sering dimunculkan tentang subsidi untuk bisnis dan industri adalah bahwa dengan tarif listrik yang lebih tinggi maka otomatis akan mempengaruhi biaya produksi dari produk bisnis dan industri sehingga harga jual akan menjadi lebih tinggi, dan otomatis ini akan mempengaruhi daya saing produk di pasaran. Argumen ini menjadi tidak masuk akal bila dikembalikan kepada darimana asal rupiah yang digunakan untuk subsidi listrik yang notabene berasal dari dalam negeri terutama dari sektor pajak. Masih wajar bila produk tersebut dipasarkan di dalam negeri dengan harga rendah untuk memenuhi kebutuhan kebanyakan rakyat Indonesia karena manfaat dari subsidi dikembalikan kepada yang menyokong subsidi dan yang sesuai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin. Namun menjadi kurang wajar bila produk tersebut merupakan produk tersebut untuk keperluan ekspor karena otomatis yang menikmati harga rendah (dengan kata lain menikmati subsidi listrik) adalah penduduk negara lain.
Tabel 3. Tarif Dasar Listrik 2003 untuk Beberapa Golongan (Keppres No. 89 / 2002)
Golongan Gol. Tarif Biaya beban Blok I Blok II Blok III
Perumahan R1-450 12,000 172 380 530
R1-900 23,000 310 490 530
R1-1300 30,500 395 490 530
R1-2200 30,500 400 490 530
R2 31,500 575
R3 34,260 621
Bisnis B1-450 24,500 257 445
B1-900 28,300 440 490
B1-1300 29,500 490 493
B1-2200 30,500 500 540
B2 31,000 535 550
B3 29,500 475
Industri I1-450 27,000 161 435
I1-900 33,500 350 465
I1-1300 33,800 475 495
I1-2200 33,800 480 495
I1-14000 34,000 480 495
I2 35,000 466
I3 31,300 468
I4 28,700 460
Kantor Pemerintah P1-450 20,500 595
& PJU P1-900 25,000 605
P1-1300 25,000 605
P1-2200 25,000 605
P2 25,000 382
P3 24,000 665
Dari uraian di atas maka dapat ditarik 2 kesimpulan masalah yaitu pertama: tidak tepat sasarannya subsidi yang diberikan pemerintah, dan kedua: bagaimana PLN mendapatkan sumber dana untuk investasi kelangsungan bisnisnya (peremajaan dan ekspansi).
Usulan Pemecahan Masalah
Subsidi digunakan pemerintah untuk memeratakan pendapatan nasional dari penduduk mampu ke penduduk miskin. Miskin dalam konteks ini adalah miskin secara finansial maupun miskin secara kesempatan. Dalam hal ini bisa diambil contoh bensin premium dan pertamax. Secara umum pertamax banyak digunakan oleh mobil yang ber-cc tinggi dan termasuk dalam golongan mewah yang tentunya dimiliki oleh penduduk mampu, sementara premium dominan digunakan oleh kebanyakan penduduk. Oleh karena itu secara mudah subsidi diberikan kepada produk premium, sementara pertamax tidak disubsidi, dengan demikian diharapkan penduduk kebanyakan memiliki kesempatan yang sama dengan penduduk mampu untuk menikmati penggunaan bahan bakar bensin.
Lalu bagaimana dengan listrik? Listrik merupakan kebutuhan primer bagi penduduk Indonesia baik penduduk miskin, menengah maupun kaya. Penggolongan penduduk miskin dan kaya dalam konteks listrik dapat dilakukan berdasarkan jumlah konsumsi listrik. Sebagai contoh untuk golongan perumahan, penduduk golongan bawah secara umum dikategorikan sebagai pemilik rumah dengan tipe 45 ke bawah, sementara penduduk menengah sebagai pemilik rumah tipe 45 ke atas sampai tipe 120, dan penduduk golongan kaya memiliki rumah tipe 120 ke atas. Tipe rumah secara umum berkorelasi dengan konsumsi listrik. Maka berdasarkan tabel 3 dapat ditentukan mana golongan tarif yang layak mendapatkan subsidi dan yang tidak, dimana sekarang ini terlihat bahwa semua golongan tarif (berarti semua penduduk tanpa kecuali) menikmati fasilitas subsidi.
Dalam konteks subsidi listrik ini diusulkan untuk diterapkan 2 macam subsidi yaitu subsidi langsung dan subsidi silang. Konsep subsidi silang (cross subsidy) yang di satu sisi menjual dengan harga di bawah harga jual normal untuk produk yang dikonsumsi oleh kebanyakan orang dalam jumlah yang sama, sementara di sisi lain menyediakan produk mewah yang dikonsumsi oleh sebagian konsumen dijual dengan harga di atas harga jual normal. Pembagian golongan dan blok dalam TDL kelihatannya sudah mengacu pada konsep subsidi silang ini namun belum pada nilai tarifnya karena semua masih mendapatkan subsidi. Perlu ditentukan bahwa pada golongan tertentu atau blok tertentu berlaku nilai tarif di atas BPP. Sementara subsidi langsung baik diberikan kepada golongan tarif yang benar-benar hanya dikonsumsi oleh penduduk miskin. Demikian juga untuk bisnis dan industri yang melingkupi hayat hidup orang banyak dan bersifat sosial perlu mendapatkan subsidi langsung.
Model pendapatan yang menyertakan kedua macam subsidi adalah seperti di bawah ini, dimana terdapat faktor subsidi listrik dari pemerintah sebagai implementasi subsidi langsung, dan faktor jumlah konsumsi mewah sebagai implementasi dari subsidi silang:
Total Pendapatan = ( jumlah konsumsi golongan bersubsidi * tarif bersubsidi) + subsidi listrik dari pemerintah + (jumlah konsumsi golongan tanpa subsidi * tarif normal tanpa subsidi) + (jumlah konsumsi mewah * tarif di atas tarif normal)
Dengan model pendapatan seperti ini maka diharapkan jumlah subsidi menjadi berkurang yaitu selektif hanya untuk penduduk yang benar-benar membutuhkan, dan demikian juga dengan konsumsi listrik menjadi lebih terkontrol karena kelebihan konsumsi listrik akan dihargai jauh lebih tinggi dari konsumsi normal. Kelebihan sumber daya listrik yang sebelumnya juga terkuras bisa dimanfaatkan untuk konsumsi lebih banyak pelanggan terutama di desa/kelurahan yang belum menikmati listrik.
Penentuan konsumsi yang layak untuk penduduk miskin, konsumsi normal, dan konsumsi mewah dapat menggunakan mekanisme yang sama dengan apa yang pernah dilakukan oleh PLN dengan model tarif progresifnya. (8) Harga subsidi pun perlu diterapkan tidak terlalu jauh dari BPP tidak seperti sekarang ini yang subsidinya sampai 85% dari BPP, mungkin bisa ditentukan nilai subsidi maksimal 50% dari BPP. Demikian pula tarif mewah pun perlu ditentukan tidak terlalu jauh lebihnya dari tarif normal, mungkin bisa ditetapkan maksimal 20% dari tarif normal. Dengan demikian diharapkan terjadi keseimbangan antara subsidi terhadap penduduk miskin dan pendapatan yang diperoleh dari penduduk mampu.
Untuk mengatasi masalah sumber dana untuk peremajaan dan ekspansi maka harga jual atau tarif perlu memasukkan faktor investasi. Model penentuan harga jual atau tarif normal yang memasukkan unsur investasi adalah:
Harga jual = BPP + Investasi
Investasi ini bisa disamakan dengan konsep biaya marjinal dalam domain ekonomi yaitu perubahan pada biaya total yang timbul ketika jumlah produk yang diproduksi bertambah satu unit, jadi dalam BPP untuk tiap kWh listrik perlu ditambahkan biaya tambahan yang akan ditabung yang nantinya akan digunakan untuk meremajakan komponen pembangkit listrik yang ada maupun untuk membangun pembangkit listrik yang baru karena adanya pertambahan kebutuhan listrik dalam suatu wilayah. Dengan program peremajaan yang rutin diharapkan faktor efisiensi menjadi terjaga bahkan lebih baik, sehingga BPP tetap terjaga bahkan bisa lebih rendah sehingga tarif juga mengikuti menjadi lebih kompetitif. Dengan program peremajaan yang rutin juga tentunya ketersediaan listrik bisa menjadi lebih baik, sehingga keluhan pelanggan tentang seringnya pemadaman listrik menjadi berkurang.
Dengan model harga jual di atas berarti akan ada kenaikan harga jual listrik dari yang sekarang walaupun model harga jual ini juga dikombinasikan dengan subsidi seperti yang diusulkan di atas yaitu subsidi langsung dan subsidi silang. Dengan tarif baru yang diusulkan di atas maka kenaikan akan terjadi pada semua golongan tarif dengan persentase kenaikan yang bervariasi, kenaikan disebabkan 2 komponen yaitu kenaikan akibat tambahan komponen investasi dan kenaikan akibat penurunan subsidi. Golongan yang mendapat subsidi akan merasakan kenaikan tarif akibat turunnya nilai subsidi terutama pada golongan dan blok kecil yang sekarang subsidinya antara 50 – 85% menjadi maksimal 50%. Golongan yang tidak akan disubsidi akan merasakan kenaikan tarif dari yang sekarang menikmati subsidi antara 39 – 57% menjadi 0% alias membayar penuh tarif normal. Kombinasi dari kedua model di atas adalah:
Total Pendapatan >= Total BPP + Investasi
( jumlah konsumsi golongan bersubsidi * tarif bersubsidi) + subsidi listrik dari pemerintah + (jumlah konsumsi golongan tanpa subsidi * tarif normal tanpa subsidi) + (jumlah konsumsi mewah * tarif di atas tarif normal) >= Total BPP + Investasi
Total pendapatan minus bagian konsumsi mewah diprediksikan sama dengan total BPP dan investasi. Tambahan konsumsi mewah menjadikan prediksi pendapatan lebih besar dari pengeluaran sehingga bisa dianggap sebagai keuntungan. Model pendapatan bisa ditulis sebagai berikut:
Total Pendapatan = Total BPP + Investasi + Keuntungan
Dengan adanya bagian keuntungan ini tentunya PLN akan memiliki keleluasaan untuk melaksanakan program perbaikan pelayanan kepada pelanggan, terutama isu-isu yang sering dikeluhkan banyak pelanggan. Keluhan utama yang sering diajukan pelanggan karena memberi dampak yang sangat besar terhadap kegiatan mereka adalah tentang pemadaman listrik yang sering frekuensinya, pemadaman yang mendadak tanpa pemberitahuan, dan pemadaman yang lama jangka waktunya. Tanggapan dari PLN umumnya beralasan karena sedang dilakukan perawatan rutin terhadap pembangkit sehingga kapasitas listrik menjadi berkurang dan perlu dilakukan pemadaman. Dengan adanya tambahan dana di atas tentunya dapat diusahakan suatu sistem perawatan rutin yang tidak mengganggu ketersediaan listrik bagi pelanggan misalnya dengan menyediakan pembangkit cadangan yang tentunya juga amat sangat diperlukan dalam penanganan “disaster recovery” bila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan terhadap pembangkit yang ada. Dengan bisa diatasinya semua keluhan pelanggan maka tingkat kepuasan pelanggan meningkat dan demikian juga kepercayaan pelanggan kepada PLN akan meningkat. Pelanggan yang puas akan lebih sangat koperatif dalam merespons kebijakan PLN di masa depan. Seperti yang dinyatakan oleh Mark Bonsall, GM Customer Service Salt River Project, perusahaan listrik di Arizona (9): “When you run a utility, something will always go wrong: the weather, fires, an auto accident taking our poles. When problems do arise we know we’ve built up a reserve pool of goodwill that we can call on to keep our customers calm while we fix the problem. If, however, our customers were already dissatisfied with our service, all it would take would be the smallest problem to send them over the edge.”
Ringkasnya, segala kenaikan dapat dipahami oleh pelanggan sebagai suatu hal yang perlu asalkan kenaikan tersebut memberi dampak positif langsung kepada pelanggan. Pelanggan akan ikut dengan kenaikan tarif yang dilakukan asalkan pelayanan yang diberikan oleh PLN menjadi lebih baik dan lebih responsif.
Rujukan
(1) Pengusaha Minta Ditunda, PLN Usulkan Kenaikan TDL 30-80%. http://anekainfo.net63.net/?p=149 . 18 Juli 2008.
(2) Naikkan Tarif, API Gugat PLN. http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/08/tgl/31/time/191251/idnews/433087/idkanal/10 . 31 Agustus 2005
(3) Poksi VII FPKS Tolak Kenaikan TDL dan Minta PLN Diaudit. http://www.eramuslim.com/berita/nasional/poksi-vii-fpks-tolak-kenaikan-tdl-dan-minta-pln-diaudit.htm . 24 Januari 2006.
(4) Asal Tak Bebani Rakyat, DPR Setujui Kenaikan Tarif Listrik. http://www.detikfinance.com/read/2009/09/10/125001/1200678/4/asal-tak-bebani-rakyat-dpr-setujui-kenaikan-tarif-listrik . 10 September 2009.
(5) TIKoMeter Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi, BPPT. http://tikometer.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=332&Itemid=52 . 27 Februari 2008.
(6) Subsidi Listrik / PSO Tahun 2008. PLN. http://www.pln.co.id/Portals/0/dokumen/Subsidi%20Listrik%202008%20(PSO).pdf
(7) Marginal Cost. http://en.wikipedia.org/wiki/Marginal_cost .
(8) Tarif Listrik Progresif Pelanggan PLN Mulai Berlaku . http://infokito.wordpress.com/2008/03/02/tarif-listrik-progresif-pelanggan-pln-mulai-berlaku/ . 2 Maret 2008.
(9) Satisfaction: How Every Great Company Listens to the Voice of the Customer. Chris Denove, James Power. Portfolio Trade, 2007. Hal. 36-37. http://books.google.co.id/books?id=PzSnr1xjOpUC&pg=PA19&lpg=PA19&dq=%22impact+of+customer+satisfaction%22&source=bl&ots=4Es2GjgZ9T&sig=3poseZAyA5XKqtAjhB-F2nNlAc8&hl=id&ei=DFu8StbgBNCCkAW1gPGdDQ&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=4#v=onepage&q=%22impact%20of%20customer%20satisfaction%22&f=false